Posted by : peyok ae
Selasa, 01 Oktober 2013
Beberapa Perspektif Perubahan Sosial - Pada bagian ini, kita akan mempelajari suatu perubahan sosial dilihat dari beberapa perspektif atau sudut pandang yang pernah dilakukan oleh para ahli sosiologi dan ilmu-ilmu humaniora.
Dari
beberapa perspektif itu, akhirnya melahirkan beberapa teori yang
diyakini sebagai dasar berpijaknya para ilmuwan untuk mengungkapkan
perjalanan perubahan sosial dalam masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa teori yang diungkapkan oleh para ahli tersebut sebagai buah perspektif mereka dalam melihat perubahan sosial dalam masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa teori yang diungkapkan oleh para ahli tersebut sebagai buah perspektif mereka dalam melihat perubahan sosial dalam masyarakat.
Perspektif
ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan waktu yang
cukup lama atau proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut
terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan
yang diinginkan. Dari perspektif ini akhirnya melahirkan bermacam-macam
teori tentang evolusi. Teori tersebut adalah unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
Teori ini
berpendapat bahwa manusia dan masyarakat, termasuk kebudayaannya akan
mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari
bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks, dan akhirnya sempurna.
Pelopor teori ini di antaranya adalah Auguste Comte dan Herbert Spencer.
Teori ini
menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap
tertentu yang tetap. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah
bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen
menjadi kelompok yang heterogen.
Teori ini
lebih menekankan pada penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan
tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya melakukan penelitian tentang
perubahan pola hidup dari masyarakat tradisional yang memiliki pola
pikir religio-magic ke masyarakat industri yang memiliki pola pikir
realistis-praktis.
Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt berpendapat bahwa ada beberapa kelemahan
dalam Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah
sebagai berikut.
a. Data yang
menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah
rangkaian tahapan seringkali tidak cermat. Dengan demikian tahap
perkembangan suatu masyarakat ditentukan sesuai dengan tahapan yang
paling cocok dengan teori ini.
b.
Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas,
karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan
tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain
melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada pula kelompok masyarakat yang
justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c. Pandangan
yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya
ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang
seluas-luasnya, sepertinya perlu ditinjau ulang. Hal ini karena jika
perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa
setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
Perspektif
ini menjelaskan bahwa pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian
kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan
kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada
perubahan sosial. Sumber yang paling penting dalam perubahan sosial
menurut perspektif ini adalah konflik kelas sosial di dalam masyarakat.
Perspektif ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan
sosial merupakan dua hal yang selalu melekat pada struktur masyarakat.
Perspektif
ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap ada dalam suatu
masyarakat adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena
perubahan hanyalah akibat dari adanya konflik sosial yang terjadi di
masyarakat. Mengingat konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan
juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman
dalam perspektif konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara umum, perspektif konflik berpandangan bahwa perubahan sosial di masyarakat terjadi karena faktor-faktor berikut ini.
a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.
Konsep yang
berkembang dari perspektif ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya).
Konsep ini mendukung perspektif fungsionalis untuk menjelaskan bahwa
pada dasarnya perubahan sosial itu tidak lepas dari hubungan antara
unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut perspektif ini,
beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat,
sementara unsur yang lainnya berubah sangat lambat, sehingga tidak dapat
mengikuti kecepatan perubahan unsur yang berjalan sangat cepat
tersebut.
Unsur yang
berubah sangat cepat umumnya yang berhubungan dengan kebudayaan
materiil, sedangkan unsur yang berubah secara perlahan atau lambat
adalah unsur yang berhubungan dengan kebudayaan nonmateriil. Dengan
demikian, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara
perlahan tersebut. Akibatnya muncul kesenjangan sosial dalam masyarakat
atau yang dikenal dengan istilah cultural lag. Misalnya
pengrusakan terhadap telepon umum. Telepon umum sebagai fasilitas umum
sangat efektif untuk melakukan komunikasi, sehingga sudah selayaknyalah
dirawat dan dijaga.
Kenyataannya,
banyak telepon umum yang justru dirusak oleh masyarakat. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa dalam masyarakat terjadi cultural lag,
di mana alam pikiran manusia (nonmateriil) tidak mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan atau kemajuan teknologi (materiil).
Para
penganut perspektif ini lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu
yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai
suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan
ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam
kebudayaan.
Apabila
perubahan itu ternyata bermanfaat maka dapat dikatakan bahwa perubahan
itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi
jika terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, maka perubahan itu
akan ditolak. Tokoh dari perspektif ini adalah William Ogburn.
Pandangan perspektif fungsionalis dalam melihat suatu perubahan sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.
Menurut
perspektif ini, suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan
sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Hal ini karena dalam setiap
masyarakat sudah terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya.
Perspektif ini berpandangan bahwa kebangkitan dan kemunduran suatu
kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan suatu
perubahan sosial itu akan membawa kemunduran, atau sebaliknya perubahan
sosial akan membawa ke arah yang lebih baik.
Adapun beberapa bentuk Teori Siklis yang lahir dari perspektif ini adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880–1936)
Menurut
Spengler, setiap peradaban besar itu mengalami proses pentahapan mulai
dari kelahiran, pertumbuhan, dan akhirnya keruntuhan. Proses siklus ini
memakan waktu sekitar seribu tahun.
b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889–1968)
Dalam
teorinya, Sorokin berpendapat bahwa semua peradaban besar itu berada
dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus
tiga sistem kebudayaan ini adalah sebagai berikut.
1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis,
yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati
(supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam
menciptakan masyarakat ideal.
3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c. Teori Arnold Toynbee (1889–1975)